Tunarungu Jadi Imam Shalat?

Shalat merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Allah Swt berfirman :”Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS Al-Hajj : 77). “Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk.”(QS Al-Baqarah : 43).

Rasulullah saw bersabda : "Allah Swt telah mewajibkan atas umatku pada malam israk lima puluh kali shalat, maka aku selalu kembali menghadap- Nya dan memohon keringanan sehinggga dijadikan kewajiban shalat lima kali dalam sehari semalam.” (HR Al-Bukhori dan Muslim).

Adapun shalat bagi tunarungu bisa dikelompokkan sebagai berikut : Bagi orang yang lahir dalam keadaan buta dan tuli tidak di-taklif hukum syarak yang ada. Dalam bentuk apa pun ia tinggalkan, tidak ada sanksi dosa. Karena ia tidak ada jalan untuk mengetahui tuntutan syariat yang dimaksud. Kalau buta dan tuli itu timbul setelah tahu pada hukum syariat, maka ia tetap terkena taklif hukum syarak. Kalau ia tidak shalat umpamanya, maka dianggap berdosa.(Lihat: Nihayah az-Zain/9; Hasyiyah al- Bajuri/1/134).

Empat mazab berpendapat, orang yang lidahnya cacat seperti celat, sehingga dia tidak dapat melafalkan surat Al-Fatihah dengan baik, shalatnya sah, selama dia tidak menyengaja berbuat itu dan sudah tidak mampu lagi memperbaiki bacaannya. Hukum untuk orang yang lidahnya cacat ini dapat diterapkan juga untuk orang-orang tunarungu yang tidak dapat mengucapkan suratal- Fatihah dengan baik.

Maka shalat orang-orang tunarungu yang demikian itu juga sah, selama pengucapannya yang tak sempurna itu bukan karena kesengajaan dan memang sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Kesamaan hukum untuk orang celat dengan orang-orang tunarungu ini bukan didasarkan pada qiyas, melainkan karena menerapkan nash-nashumum yang dapat diterapkan untuk berbagai kasus yang termasuk dalam keumumannya.

Jadi keumuman nash-nash ini berlaku pula orang-orang tunarungu, sebagaimana berlaku untuk orang celat. Dalam Alquran dan as-sunah terdapat nash-nashumum yang menjelaskan bahwa Allah Swt tidak membebani seorang kecuali sesuai dengan kesanggupannya, dan adanya permaafan bagi orang yang berbuat salah tanpa unsur kesengajaan. (Athaí bin Khalil,Taisir al-Wushul ila Al-Ushul).

Nash-nash umum tersebut misalnya firman Allah Swt : "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya." (QS Al-Baqarah (2): 286). Juga firman-Nya : "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu." (QS at-Taghabun (64): 16).

Dan juga sabda Rasulullah saw : "Jika aku perintahkan kamu suatu perkara, maka laksanakanlah itu menurut kesanggupanmu." (HR Bukhari No 7288 dan Muslim No 1337); (Imam Syaukani, Nailul Authar). Imam Syaukani menjelaskan bahwa hadis ini menunjukkan tiga hal. Pertama, bahwa ada permaafan (al-'afwu) untuk segala sesuatu yang berada di luar batas kesanggupan. Kedua, bahwa wajib hukumnya melakukan sesuatu yang diperintahkan syarak dalam batas kesanggupan.

Ketiga, bahwa kalau masih sanggup mengerjakan sebagian yang diperintahkan, bukan berarti boleh meninggalkan semua yang diperintahkan. (Imam Syaukani, Nailul Authar). Berdasarkan nash-nash umum ini, maka pelafalan Al-Fatihahyang tidak sempurna oleh orang-orang tunarungu dapatlah dimaafkan karena mengucapkan surat Al-Fatihah secara sempurna jelas berada di luar batas-batas kesanggupannya.

Selain itu, terdapat nash umum yang menerangkan adanya permaafan (al-ëafwu) bagi orang yang berbuat salah tanpa unsur kesengajaan. Sabda Nabi saw: "Telah diangkat dari umatku (siksaan) karena tersalah (tidak sengaja), lupa, dan apa yang dipaksakan atas mereka." (HR Ibnu Hibban).

Kesimpulannya, berdasarkan nash-nash umum di atas, maka sah shalatnya orang-orang tunarungu dengan bacaan Al-Fatihah yang tidak sempurna, selama ketidaksempurnaan pelafalan itu tidak disengaja dan sudah tidak dapat lagi diusahakan untuk diperbaiki. Sedangkan untuk menjadi imam, maka ahli fikih telah menegaskan bahwa seorang yang tunarungu boleh menjadi imam, asalkan memenuhi persyaratan, laki-laki, mampu membaca dengan benar dan mengetahui tata cara shalat yang benar, sebagaimana orang yang buta juga boleh menjadi imam.

Telah tetap dalam riwayat yang sahih bahwa Abdullah bin Ummi Maktum radhiyallahuanhupernah memimpin shalat penduduk Madinah, yaitu ketika Rasulullah saw sedang safar (perjalanan) berjihad di jalan Allah. Apabila imam yang tuli tersebut lupa maka jamaahnya dapat saja mengingatkannya dengan isyarat atau lainnya, sehingga ia dapat mengambil tindakan yang tepat sesuai yang diajarkan dalam kondisi semacam ini.

Wajibkan Berpuasa?

Orang yang cacat/bisu kalau sehat akalnya/akil, sudah baliq maka terkena kewajiban agama termasuk shalat dan puasa. Namun, jika dia tidak pernah mengerti adanya syariat tersebut maka tidak ada kewajiban untuk melaksanakannya.

Intinya, ketika diketahui bahwa dia berakal, maka dia termasuk kategori mukalaf jika sudah akil baliq dengan salah satu tanda yang sudah diketahui, dan terikat dengan aturan-aturan yang mengikat orang mukalaf sesuai dengan kadar ilmu dan kemampuannya.

Tapi jika ternyata kondisi menunjukkan bahwa akal tidak berfungsi, maka dia tidak memiliki tanggung jawab, karena dia bukan mukalaf, sebagaimana dijelaskan dalam hadis sahih. Rasulullah saw bersabda: "Catatan amalan ditiadakan atas tiga golongan : anak kecil sampai dia baliq, orang pingsan sampai siuman (sadar) dan orang tidur sampai dia terjaga." (Majmu Fatawa).

*Sumber: berita.suaramerdeka.com
Previous
Next Post »
0 Komentar